Zat Kimia masih Ditemukan dalam Makanan Anak

MASALAH keracunan makanan tampaknya sudah langganan di Indonesia. Hampir setiap tahun kasus keracunan selalu ada dan angka kejadiannya pun cukup tinggi. Dan, dari seluruh kasus keracunan makanan yang ada, semua bersumber pada pengolahan makanan tidak higienis. Ironisnya makanan tidak higienis ini banyak dijual di kantin sekolah.
Masalah keamanan pangan, menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Sampurno, menjadi isu strategis saat ini.
"Industri rumah tangga di bidang pangan (IRTP) berjumlah lebih dari 500 ribu unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, pada saat yang sama IRTP juga mempunyai potensi kerawanan keamanan pangan terutama dalam kebersihan sarana, pemilihan bahan, proses pengolahan, dan monitoring mutu produk di peredaran," jelasnya.
Demikian juga makanan jajanan (street food) dan jajanan anak sekolah, kata Sampurno, perlu mendapat perhatian serius dan konsisten dari semua pihak.
"Terutama adanya fenomena penggunaan bahan-bahan kimia yang dilarang dalam makanan. Perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif kepada IRTP dan pembuat makanan jajanan terhadap pemasok bahan kimia."
Menurutnya, sumber terbesar keracunan makanan yang terjadi di Indonesia berada pada usaha jasa boga atau katering untuk karyawan maupun jajanan anak sekolah.
"Pembinaan dan pengawasan usaha jasa boga dan jajanan anak sekolah ini ada pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Meski demikian, lanjutnya, Badan POM tetap melakukan proaktif menjalin kerja sama dengan mitra terkait.
"Berdasarkan hasil pengujian laboratorium Badan POM sebagian besar kasus keracunan makanan akibat makanan telah terkontaminasi mikroba patogen Staphyllococcus areus."
Hal ini mengindikasikan adanya masalah kebersihan dan proses memasak makanan yang tidak higienis. Sedangkan dari uji sampling jajanan sekolah dari Banda Aceh sampai Jayapura ditemukan makanan mengandung formalin dan boraks pada bakso dan mi untuk pengenyal dan pengawet serta Rhodamin B pada sirup es mambo atau pewarna merah pada es.
Penyuluhan
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Tuti Lukman Sutrisno mengemukakan belum semua sekolah mendapat penyuluhan dari Dinas Kesehatan setempat. "Sebab, saya pernah menanyakan kepada penjaga kantin sekolah, mereka belum pernah didatangi petugas kesehatan untuk mendapatkan penyuluhan tentang makanan yang aman untuk anak-anak."
Bahkan, kata Tuti, beberapa kantin sekolah yang menyediakan jajanan anak sekolah sama sekali tidak layak dan tidak aman untuk dikonsumsi anak-anak.
"Pihak sekolah pun harus ikut bertanggung jawab dalam pengadaan jajanan anak sekolah. Karena sekolah yang mengizinkan penjual itu berjualan di sekitar sekolah."
Seperti diketahui, Rhodamin B biasa digunakan untuk pewarna tekstil dan masuk ke dalam golongan pewarna yang dilarang digunakan untuk makanan. Demikian juga produk jajanan mengandung mikroba salmonela yang menyebabkan tifus.
Menurut Sampurno, penanganan makanan jajanan anak sekolah ini harus melibatkan pihak sekolah untuk melakukan pembinaan kepada para penjaja makanan yang ada di sekitar sekolah maupun kantin.
Sampurno meminta pihak sekolah harus mewaspadai donasi dan promosi makanan yang dilakukan di sekolah-sekolah. "Makanan yang didonasikan ke sekolah bila tidak diatur dan dilakukan pengawasan dengan baik dapat menimbulkan masalah dan risiko pada anak-anak sekolah."
Sehubungan dengan hal itu Badan POM telah menyampaikan pedoman pemberian pangan untuk konsumsi anak sekolah kepada gubernur di seluruh Indonesia.
Sedangkan industri makanan di dalam negeri dengan teknologi modern juga tumbuh pesat dengan dukungan basis sumber daya nasional. "Untuk bersaing di pasar ekspor, aspek mutu dan keamanan produk harus dijaga konsisten untuk selalu memenuhi standar internasional terkini."
Anggota DPR dari Komisi IX Achmad Affandy menilai bahwa pemantauan terhadap makanan yang ditambah dengan zat kimia tidak tuntas. "Dulu pernah ada pemeriksaan terhadap bahan pembuat tahu Kediri. Hasil pemeriksaan POM mengandung formalin. Pengusaha tahu Kediri jera dan tidak lagi menambahkan formalin. Akan tetapi, setelah beberapa bulan kemudian dilakukan lagi dengan alasan usahanya bisa rugi."
Menurut Sampurno, perbuatan pengusaha itu jelas merugikan masyarakat apalagi menambahkan zat kimia terlarang pada makanan yang cukup khas di kotanya.
Sampurno menjelaskan program pengawasan keamanan pangan Badan POM pada tahun mendatang difokuskan untuk menyelesaikan dan menyusun berbagai standar bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
"Terutama menyangkut bahan tambahan pangan pengemulsi, pemantap, pengatur keasaman, pengental, antioksidan, pemutih, pematang tepung dan sebagainya."
Demikian pula berbagai peraturan pangan yang saat ini sudah dalam proses, lanjutnya, perlu diselesaikan segera. Misalnya, peraturan persyaratan penggunaan pengawet dalam produk pangan, persyaratan penggunaan pewarna, persyaratan penggunaan bahan baku, persyaratan penggunaan cemaran logam, dan batas maksimum aflatoksin dalam produk pangan.
Sering kali anak-anak tertarik dengan jajanan sekolah karena warnanya yang menarik, rasanya yang menggugah selera, dan harganya terjangkau. Makanan ringan, sirup, bakso, mi ayam dan sebagainya menjadi makanan jajanan sehari-hari di sekolah. Bahkan tak terbendung lagi berapa uang jajan dihabiskan untuk membeli makanan yang kurang memenuhi standar gizi ini.
Bahan tambahan
Menurut Ketua Patpi (Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia) Cabang DKI Jaya DR Ir RD Esti Widjajanti, makanan semakin enak biasanya ditambah dengan bahan tambahan makanan (BTM). "Produsen makanan rumah tangga akan berusaha menampilkan makanan semenarik mungkin baik dari penampakan, aroma, dan tekstur. Akan tetapi, acap kali faktor gizi, higienis dan keamanan pangan justru diabaikan."
Faktanya produksi pangan olahan untuk tujuan komersial penggunaan bahan tambahan kimia sebagai bahan pengawet tidak mungkin dihindari, terutama industri makanan rumah tangga.
Tujuan penggunaan bahan pengawet ini adalah untuk menghambat atau menghentikan aktivitas mikroba (bakteri, kapang, khamir). "Akhir tujuannya dapat meningkatkan daya simpan suatu produk olahan, meningkatkan cita rasa, warna, menstabilkan, memperbaiki tekstur, sebagai zat pengental/penstabil, antilengket, mencegah perubahan warna, memperkaya vitamin, mineral, dan sebagainya."
Menurutnya, pemberian bahan tambahan tersebut tidak merusak nilai gizi makanan itu, asalkan tidak kedaluwarsa. Biasanya kalau masa kedaluwarsanya sudah ditentukan, maka empat bulan menjelang kedaluwarsa makanan itu mengalami perubahan.
Penggunaan zat pengawet sebaiknya dengan dosis di bawah ambang batas yang telah ditentukan. Jenis zat pengawet ada dua, yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik, misalnya garam, gula, lada, dan asam cuka.
Sedangkan jenis lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis pengawet yang diizinkan dalam buah-buahan olahan demi menjaga kesehatan konsumen.
Menurut Esti, pewarna, pengawet, atau penguat rasa alamiah sangat sulit dilakukan di Indonesia karena harganya cukup mahal. "Apalagi dijual untuk konsumsi anak sekolah, industri rumah tangga lebih menyukai bahan kimia. Kalau zat pewarna jelas warnanya lebih ngejreng dibandingkan dengan pewarna dari Angkak. Warnanya kurang menarik dan mahal harganya."
Demikian juga dengan pemanis buatan, seperti aspartam jauh lebih disukai produsen karena hanya satu tetes saja, kata Esti, sudah cukup manis dibandingkan gula asli dari tebu.
Sedangkan penguat rasa MSG, lanjutnya, kalau di luar negeri dipakai penguat rasa dari tumbuhan. Harganya memang mahal dibandingkan MSG hasil fermentasi, seperti yang dipakai di Indonesia. "Tentu saja masyarakat harus hati-hati mengonsumsi makanan dan minuman yang masih rendah keamanannya. Jangankan jajanan sekolah, pembuatan tempe saja sekarang ini masih kurang higienis, khususnya sanitasinya. Bagaimana tempe kita bisa diekspor," kata Esti yang juga Kepala Bidang Teknologi Pangan dan Nutrisi BPPT ini.
Untuk mengantisipasi dampak keracunan dan meningkatkan keamanan pangan, rencana Badan POM ke depan, menurut Sampurno, akan membentuk Pusat Kewaspadaan dan Penanggulangan Keamanan Pangan di Indonesia (National Center Food Safety Alert and Respons). Pada 2005 nanti Badan POM akan menerapkan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) pada industri pangan dan system food star pada industri rumah tangga pangan.
"Rencana ke depan Badan POM akan melaksanakan sistem standardisasi produk pangan dan bahan berbahaya, membangun networking dengan berbagai instansi berkaitan dengan mutu dan keamanan jajanan anak sekolah."
Dan tak kalah penting, lanjut Sampurno, Badan POM perlu meningkatkan koordinasi lintas sektor tentang pengelolaan dan pengamanan bahan kimia.

bintinidaul.blogspot.com

clocklink.com

bintinidaul.blogspot.com

ini merupakan pengalaman q yg sangat menyegihkan